Kini,
tepat satu tahun.
Maaf karena begitu lama Bube baru mampu menulis panjang tentangmu. Bukan karena tak ingin kesedihan itu kembali menggigit, bukan, hanya saja kerinduan yang datang nanti akan sangat sulit untuk diusir pergi.
Maaf karena begitu lama Bube baru mampu menulis panjang tentangmu. Bukan karena tak ingin kesedihan itu kembali menggigit, bukan, hanya saja kerinduan yang datang nanti akan sangat sulit untuk diusir pergi.
Karena setiap menutup mata, tanpa cela masih
bisa terbayang senyum nakalmu, suara serakmu saat berkata "Eeeh, Bube.
Udah datang?". Masih membekas di pipi rasa hangat gembil pipimu, rasa
basah saat kau iseng memberi ciuman penuh iler. Dalam memori HP ini, masih
penuh berisi foto selfie denganmu, yang selalu senang melendot saat Bubemu ini
sudah bersiap memegang HP. Masih terbayang berat hangat badanmu di pangkuan,
saat kau melonjak setiap kali melihat truck lewat kala Abimu berkendara.
"Bube, truck!"
"Warnanya apa?"
"Ijok!"
"Bukaaan, itu warnanya hi...? Hitaaam!"
Ah, Dek, rasanya ingin sekali sejenak kembali
ke masa lalu. Sedikit saja mencicipi kenangan sepele yang manis itu. Mengulang
masa-masa dimana kita masih bisa tertawa, bergelut bertiga bersama abangmu.
Tentu akan Bube hargai setiap detiknya, jika saja Bube tahu waktu kita bersama
ternyata terbatas.
Iya, Bube kira waktu yang kita miliki tak
terbatas, karena kau begitu muda, begitu kecil, begitu sehat, begitu lucu untuk
pergi mendahului kami. Tapi Bube lupa, kami lupa, bahwa ajal adalah entitas
yang tak menganut logika manusia. Engkau direnggut dari pelukan kami, kala kau
masih lucu-lucunya, kala kami mengira masa depanmu masih terbentang luas. Namun
kini tas sekolahmu yang belum genap digunakan dalam bilangan tahun itu tak kan
lagi kau pikul.
Kau hadir membagi tawa dan segudang memori, memberi kebahagiaan
tak terperi, lalu kau pergi.
Firasat akan kepergianmu itu ada, dek. Bahkan
jika Bube tak ingin percaya, firasat-firasat itu begitu jelas hingga mengingkarinya
akan terasa seperti mengkhianati semesta. Penjelasan yang disalurkan tanpa
dipinta dari Yang Maha Ada, yang mungkin ditujukan untuk menjelaskan
"Begini yang ia rasakan, kepergiaannya tak terlalu sakit kan?"
Dan hanya itu yang butuh Bube imani. Itu saja.
Bahwa kau pergi tanpa rasa sakit. Hanya keterkejutan, kepanikan, lalu kegelapan
merangkulmu dengan hangat. Rasa sakit kecil yang hanya sebentar saja, lalu kau
ada di tempat yang lebih indah. Begitu saja.
Karena hanya Iman yang mampu membuat kami
teguh memproses kepergianmu. Kepercayaan mendalam bahwa Allah SWT jauh, jauuuh
lebih menyayangimu dari kami. Bahwa ada tujuan yang kuat dan penting, yang
dipersiapkan dan disembunyikan Tuhan dalam perih dan sakitnya kehilanganmu.
Bahwa Tuhan tengah menyelamatkanmu, dengan memastikan tempatmu di surga saat
ini. Bahwa kau kini ada di tempat terbaik, dikelilingi dan dijaga oleh
makhluk-Nya yang terbaik, dan pada saatnya nanti kau akan kembali berada di
pelukan orang-orang yang mengasihimu.
Tanpa iman dan keyakinan ini, tak akan
mampu kami menghadapi kepergianmu. Pun iman dan keyakinan itu jua yang
memberikan Bube banyak pelajaran berarti:
1. Utarakan. Sakit sekali jika orang itu telah
pergi lalu kata-kata itu masih menggantung di ujung lidah. Meski itu berarti
memuntahkan kemarahan atau kekecewaan, atau permintaan maaf hingga ungkapan
kasih sayang. Ucapkan. Lalu selesaikan dengan meminta maaf atau merelakan.
Jangan tunggu esok. Jangan tunggu hingga keberanian mengusir pergi rasa gengsi.
Ucapkan. Saat ini, hari ini. Karena kita tak pernah tahu kapan kematian akan
datang lalu membawa orang itu pergi.
2. Lakukan. Waktu begitu terbatas. Lalu
bagaimana kita ingin menghabiskan waktu bersama? Dalam pertengkaran terus
menerus? Dengan menyakiti dan membuat hati
orang yang kita sayangi hancur dalam tangisan?Tentu tidak. Oleh karena itu
hiduplah di hari ini, jalani hari ini dengan memberi, dengan menyayangi, dengan
bertindak seakan akan orang yang kau sayangi akan pergi esok hari. Tak perlulah
meminta dan menuntut "kau harusnya begitu, begini". Berilah cinta
sebanyak-banyak yang kita bisa, agar saat ia pergi kita tahu bahwa kita telah
berlaku yang sebaik-baiknya, memberi semua yang ada, tanpa tersisa. Tanpa
penyesalan picisan bahwa "aku harusnya lebih baik, lebih ada, lebih
segalanya". Karena penyesalan jauh lebih menyakitkan daripada ego yang
jatuh. Maka berlakulah sebaik baiknya.
3. Doakan. Bagimu yang telah pergi atau bagi
kami yang masih mengantri, semoga semuanya dijemput dalam keadaan terbaik dan
tanpa sakit yang berarti. Semoga kehidupan ini kita jalani dengan penuh arti,
menciptakan banyak bekal untuk kehidupan akhir nanti. Dan tentunya, semoga kita
semua lengkap berkumpul kembali.
Berkumpul kembali. Itu harapan terbesar kami,
Dek. Karena banyak yang mengatakan, yang pergi tidak akan pernah hilang. Waktu
tak menggantikan, hanya sekedar membiasakan. 30 tahun dari sekarang, mungkin
Bube tidak lagi menangis saat menulis tentangmu, atau mengisak keras saat
mengunjungi makammu.
Mungkin juga karena Bube tahu, semakin banyak waktu yang
berlalu, maka semakin cepat datang waktu kita bertemu.
Yang harus dan bisa kami lakukan saat ini
hanya mendoakanmu. Hanya memantaskan diri agar lekas bertemu denganmu.
Menghargai dan memperlakukan mereka yang kami sayangi dengan sebaik-baiknya
karena mengingat sakitnya kehilanganmu. Sabar menunggu giliran kami untuk
menempuh jalan yang sudah terlebih dahulu kau terangi.
Doakan kami disana, Dek. Seperti kami yang
selalu mendoakanmu disini. Kami akan selalu menyayangimu.
Al-Fatihah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar